

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) menyetujui empat permohonan penyelesaian perkara melalui restorative justice (keadilan restoratif) pada ekspose virtual yang berlangsung Selasa, 8 Juli 2025.
Keempat perkara yang diajukan masing-masing diajukan 4 Kejaksaan Negeri (Kejari) itu terkait dengan kasus penganiayaan, penadahan, pencurian, dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Dr Harli Siregar, S.H, M.Hum dalam keterangan resminya menjelaskan, salah satu perkara yang disetujui penyelesaiannya melalui mekanisme keadilan restoratif adalah terhadap terdangka Kaisubu Yohanes Usior.
Tersangka dalam permohonan perkara yang diajukan oleh Kejari Biak Numfor ini disangka telah melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
Perkara ini berawal ketika Tersangka datang ke rumah kos saksi korban yang juga merupakan kekasihnya bernama Desi Hendrika Arwam.
Saat mengetahui kekasihnya bangun, tersangka langsung menanyakan tentang kecurigaan korban berkirim pesan dengan seorang pria. Tuduhan itu langsung dibantah oleh Korban.
Tak puas dengan jawaban tersebut, tersangka melayangkan pukulan ke bagian wajah korban. Akibat ketakutan, korban kabur menuju kamar dua rekannya untuk meminta pertolongan. Salah satu teman korban juga melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resort Biak Numfor.
Hasil visum et repertum menunjukan Korban mengalami luka lebam pada kepala sebelah kiri, luka memar pada bahu bagian depan dan bibir bawah serta luka.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kejari Biak Numfor menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice. Dari upaya perdamaian yang berlangsung pada 2 Juli 2025, Tersangka mengakui kesalahannya dan menyampaikan permintaan maaf.
Korban yang menerima maaf tanpa syarat akhirnya bersepakat untuk tidak melanjutkan perkara ke proses persidangan.
Selain perkara penganiayaan di Biak Numfor, ekspos virtual yang dipimpin JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaikan tiga perkara melalui mekanisme restorative justice. Ketiga perkara itu adalah:
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi,
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, serta ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun
Permohonan restorative justice juga disetujui karena alasan Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, kedua pihak yang berperkara setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis, serta masyarakat merespons positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
JAM-Intel mendorong semua Kejaksaan di seluruh Indonesia melakukan MoU serupa di wilayah hukumnya masing-masing
Baca SelengkapnyaWakil Jaksa Agung dan Seskemenkop menggelar pertemuan membahas tindak lanjut MoU program Koperasi Desa Merah Putih
Baca SelengkapnyaInstall Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id