Better experience in portrait mode.
Kejaksaan Setujui 5 dari 6 Penyelesaian Perkara Melalui Mekanisme Restorative Justice

Kejaksaan Setujui 5 dari 6 Penyelesaian Perkara Melalui Mekanisme Restorative Justice

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyetujui 5 dari 6 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif. Satu berkas perkara yang tidak dikabulkan tersebut berasal dari Kejaksaan Negeri Sragen dalam kasus pencurian dengan tersangka Ahmad Roti Thohnan Ulinnuha bin Pagi Thohari.


Persetujuan permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme restorative justice itu diberikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung dalam ekspose yang berlangsung pada Senin, 30 September 2024.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung, Dr Harli Siregar, S.H., M.Hum., menjelaskan salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap tersangka David Muhamad Zaen bin Suhadi (Alm) dari Kejaksaan Negeri Salatiga yang disangka melanggar pasal 362 KUHP tentang Pencurian.


Perkara ini bermula ketika tersangka mengambil handphone milik korban Oktavia Fransisca ketika menonton konser di Alun-Alun Pancasila, Kota Salatagia, pada Minggu, 11 Agustus 2024. Handphone yang diambil tersangka selanjutnya dititipkan kepada saksi bernama Khoirul Ikhsanudin yang disimpan di dalam bagasi sepeda motor.

Kejaksaan RI Setujui 5 dari 6 Permohonan Penyelesaian Perkara Melalui Mekanisme Restorative Justice

Korban yang menyadari telah mengalami pencurian akhirnya mencari handphone miliknya lewat aplikasi find my phone dan ditemukan gawainya berada sebuah lahan kosong dekat Poliklinik milik Polres Salatiga.

Saat berada di dekat lokasi, handphone yang disimpan di dalam bagasi motor saksi berbunyi setelah dicari menggunakan fitur berdering dari aplikasi tersebut.

Saksi yang tak mengetahui handphone tersebut hasil pencurian menjelaskan bawa tersangka David Muhammad Zaen menitipkan gawai itu kepadanya.


"Tak lama setelah itu, Tersangka David Muhamad Zaen bin Suhadi (Alm) diamankan oleh Petugas Kepolisian Polres Salatiga dan Tersangka juga mengakui bahwa yang bersangkutan telah mencuri handphone, sehingga korban mengalami kerugian senilai Rp2 juta," jelas Kapuspenkum.

Mengetahui posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Salatiga Sukamto, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Ardhana Riswati Prihantini, S.H., serta Jaksa Fasilitator Desta Kurniawan Surbakti, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.


Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan, terlebih handphone Korban ditemukan kembali sehingga Korban belum mengalami kerugian.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Salatiga mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah yang selanjutnya mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum.


Selain kasus tersebut, JAM-Pidum juga menyetujui 4 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif terhadap tersangka:

Kejaksaan RI Setujui 5 dari 6 Permohonan Penyelesaian Perkara Melalui Mekanisme Restorative Justice

  1. Tersangka Susi Sugianti binti Sakmad (Alm) dari Kejaksaan Negeri Subang, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan/atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

  1. Tersangka Abidul Vikri Nazuriani bin Iman Hermansyah dari Kejaksaan Negeri Kota Sukabumi, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) tentang Penganiayaan.


  1. Tersangka Hendri Wijaya bin Iwan Ahmad dari Kejaksaan Negeri Tulang Bawang Barat, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

  1. Tersangka Evan Hendra Pratama bin Agus Broto Iriyanto dari Kejaksaan Negeri Metro, yang disangka melanggar Pasal 312 Jo Pasal 231 Ayat 1 huruf a, b dan c Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau Pasal 310 Jo Pasal 229 Ayat 3 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

• Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
• Tersangka belum pernah dihukum;

• Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
• Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
• Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
• Pertimbangan sosiologis;
• Masyarakat merespon positif.

Sementara satu berkas perkara pencurian dari Kejaksaan Negeri Sragen yang tidak dikabulkan Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh Tersangka, bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum