Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) menyetujui 18 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) oada ekspor yang berlangsung Senin, 3 November 2025.
Ekspose tersebut dipimpin Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Jatim Dr. Hari Wibowo, S.H., M.H., didampingi Asisten Pidana Umum (Aspidum), Koordinator dan para Kepala Seksi (Kasi) di Bidang Pidum Kejati Jatim bersama dengan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya, Kajari Kabupaten Pasurun, Kajari Kota Kediri, Kajari Kota Probolinggo, Kajari Jember, Kajari Lumajang, Kajari Situbondo, Kajari Sumenep, Kajari Jombang, Kajari Batu, dan Kajari Tuban.
Wakajati Jatim menyampaikan bahwa penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi bukti bahwa negara melalui kejaksaan hadir di tengah masyarakat menciptakan rasa keadilan dan kepastian hukum melalui penegakan hukum yang humanis, dengan mengutamakan musyawarah dan pemulihan kembali kondisi korban seperti keadaan semula serta mengembalikan pola hubungan baik di masyarakat.
                                                Penkum Kejati Jatim
Namun Hari mengingatkan bahwa keadilan restoratif bukanlah bentuk toleransi terhadap pelaku pidana untuk kembali melakukan pelanggaran serupa
Mengutip laman resmi Kejati Jatim, perkara yang disetujui untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif yaitu terdiri dari 11 perkara tindak pidana Keamanan Negara dan Ketertiban Umum (Kamnegtibum), Orang dan Harta Benda (Oharda), 4 perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dan 3 perkara tindak Pidana Umum Lainnya (TPUL)
Sebanyak 11  perkara tindak pidana Kamnegtibum Oharda terdiri dari 4 perkara Penganiayaan yang memenuhi ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP diajukan oleh Kejari Lumajang, Kejari Kota Kediri, Kejari Surabaya, 2 perkara Pencurian yang memenuhi ketentuan Pasal 362 KUHP diajukan oleh Kejari Surabaya, 
2 perkara Penadahan yang memenuhi ketentuan Pasal 480 ke-1 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP masing-masing diajukan oleh Kejari Kota Probolinggo dan Kejari Surabaya.
Sisanya adalah 2 perkara Penadahan yang memenuhi ketentuan Pasal 480 ke-1 KUHP masing-masing diajukan oleh Kejari Situbondo dan Kejari Kabupaten Pasuruan, serta 1 perkara Penipuan atau Penggelapan yang memenuhi ketentuan Pasal 378 atau Pasal 372 KUHP diajukan oleh Kejari Kabupaten Sumenep.
Untuk perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dengan jumlah perkara yang dimohonkan untuk dilakukan rehabilitasi melalui pendekatan keadilan restoratif terdiri dari satu perkara oleh Kejari Sumenep dan dua perkara oleh Kejari Jember dengan Pasal yang disangkakan melanggar Pertama Pasal 114 ayat (1), Kedua Pasal 112 ayat (1) atau Ketiga Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Serta satu perkara yang diajukan oleh Kejari Jombang dengan Pasal sangkaan melanggar Pasal 112 ayat (1) subsidair Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
 
Untuk perkara tindak pidana TPUL yang dimohonkan untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebanyak tiga perkara dengan rincian satu perkara oleh Kejari Jember dengan Pasal yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan dua perkara yang masing masing diajukan oleh Kejari Batu dan Kejari Tuban dengan Pasal yang disangkakan melanggar Pasal 310 Ayat (4) subsidair Pasal 310 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
                                                Permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Perja Nomor 15 Tahun 2020, yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, telah terjadi perdamaian antara korban dan tersangka, hak korban telah dipulihkan, dan masyarakat merespons positif.
Untuk perkara penyalahgunaan narkotika, rehabilitasi berbasis keadilan restoratif mengacu pada Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 dan Surat Edaran Jaksa Agung No.1 Tahun 2025 dengan catatan tersangka adalah pengguna untuk diri sendiri, tidak terlibat jaringan narkotika, dan bukan residivis serta barang bukti tidak melebihi pemakaian satu hari sebagaimana Hasil Assesmen Tim Assesmen Badan Narkotika Nasional (BNN).
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                            
                Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id