

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung RI, Prof Dr Asep Nana Mulyani menyetujui enam permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif). Persetujuan tersebut diberikan JAM-Pidum dalam ekspose virtual yang digelar pada Kamis, 17 Oktober 2024.
Tiga dari enam perkara yang diajukan berasal dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Barito Timur, Kalimantan Tengah. Sementara sisanya berasal dari Cabang Kejari Toba Samosir di Porsea, Kejari Sumeulue, dan Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakati.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” ujar JAM-Pidum.
Keenam persetujuan penyelesaian melalui keadilan restoratif adalah perkara dengan tersangka Bulkhaira bin Umir dari Cabang Kejari Pidie di Kotabakti yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan, Nurhaida M. Tampubolon dari Cabang Kejaksaan Negeri Toba Samosir di Porsea yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, dan tersangka Refil Hidayah bin Yusman dari Kejaksaan Negeri Simeulue, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) tentang Penganiayaan.
Sementara tiga perkara lainnya berasal dari Kejari Barito Timur dengan lima orang tersangka.
Kejaksaan Agung memberikan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dikarenakan alasan telah dilaksanakan proses perdamaian; tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun; serta tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Alasan lainnya adalah proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi; tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan; pertimbangan sosiologis; serta adanya respons positif dari masyarakat.
Salah satu permohonan kasus yang disetujui lewat keadilan restoratif adalah kasus penadahan dengan tersangka Bulkhaira bin Munir. Permohonan perkara berasal dari Cabang Kejari Pidie di Kotakabti. Kasus ini berasal ketika tersangka membeli sepeda motor Supra X tanpa plat nomor polisi dari M Arif bin M Husen dan Junaidi yang saat ini berstatus buron.
Kedua saksi tersebut menawarkan sepeda motor tanpa plat nomor polisi seharga Rp2 juta dengan alasan sedang membutuhkan uang untuk pergi ke Takengon Aceh Tengah. Sebelum bertransaksi, tersangka sempat menanyakan tentang STNK dan BPKB yang dijanjikan akan diberikan saksi yang mengaku lupa membawanya.
Bulkhaira membeli motor tersebut pada Minggu, 4 Agustus 2024 pukul 1 dini hari saat berada di bengkelnya di Gampong Cot Tunong, Bireun.
Tersangka akhirnya menerima tawaran membeli sepeda motor tersebut dengan membayar uang tunai Rp500 ribu. Sementara sisanya ditransfer ke rekening milik istri saksi.
Dua hari setelah transaksi tersebut, tersangka ditangkap anggota Kepolisian Sektor Mutiara Timur pada 6 Agustus 2024 dan diamankan untuk proses hukum lebih lanjut.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pidie di Kotabakti sekaligus Jaksa Fasilitator Yudha Utama Putra, S.H. H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice. Permohonan diajukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Drs. Joko Purwanto, S.H yang melanjutkannya ke JAM-Pidum setelah mempelajari berkas perkara tersebut.
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id