STORY KEJAKSAAN - Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM-WAS) Kejaksaan Agung RI, Dr Rudi Margono, S.H., M.Hun dikukuhkan sebagai Profesor (H.C) dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah, pada Sabtu, 15 November 2025.
Dalam pengukuhan yang berlangsung di Aula Auditorium Unissula tersebut, JAM-Was menyampaikan orasi ilmiah yang bertajuk Urgensi Perampasan Aset Milik Terpidana dalam Upaya Restitusi/Pengembalian Kerugian untuk Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana.
Rektor Unissula Prof Dr Gunarto SH MH dalam sambutannya menegaskan penganugerahan gelar profesor tersebut telah melalui mekanisme dan memenuhi perundang undangan yang berlaku. Rektor memuji Prof Rudi sebagai penegak hukum berintegritas tinggi serta memiliki gagasan luar biasa untuk mengoptimalkan penegakan hukum di Indonesia.
Hadir dalam penganugerahan gelar Prof (H.C) tersebut adalah Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Jaksa Agung RI, Prof Dr Asep Mulyana, S.H., M.Hum., Ketua Pembina Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA) Drs Azhar Combo, Ketua Pengurus YBWSA Prof Dr Bambang Tri Bawono S.H., M.H., Senat universitas dan pejabat struktural Unissula.
Dalam orasinya, Prof (HC) Dr Rudi Margono mengatakan banyak korban tindak pidana yang menginginkan restitusi namun dalam proses dan realitasnya masih sulit dan tidak optimal.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban tindak pidana oleh pelaku atau pihak ketiga. Tujuannya mengembalikan korban ke kondisi seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Bentuk ganti rugi meliputi kehilangan kekayaan, penderitaan fisik dan psikis, biaya perawatan medis dan psikologis, biaya advokat, dan lainnya.
Mengutip data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terdapat 3.948 korban yang mengajukan restitusi dari Januari – September 2025. Adapun tingkat keberhasilan hanya sekitar 10% dari total kerugian yang dihitung oleh LPSK.
Menurut Prof (HC) Dr Rudi Margono, banyak problematika hukum dalam untuk melaksanakan restitusi antara lain tidak adamnya aturan detail dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kondisi ini menyebabkan munculnya kesan para penegak hukum tidak mempunya kewajiban dalam memperjuangkan hak-hak korban dalam mengupayakan restitusi walaupun sebenarnya sudah diatur dalam UU materiil.
Problematika lainnya adalah belum ada pemahaman yang sama antara penegak hukum terkait pembayaran restitusi pada korban tindak pidana. Hal itu menyebabkan penegakan hukum hanya diukur dari berapa banyak pelaku dihukum tetapi tidak dari indikator keberhasilan dalam mengembalikan restitusi.
Prof (HC) Dr Rudi Margono menambahkan problematika lainnya adalah kurangnya informasi atau kesadaran korban mengenai hak-haknya sehingga tidak mengajukan permohonan restitusi, masih lemahnya koordinasi dan komunikasi antar-lembaga penegak hukum dan LPSK yang menyebabkan tuntutan atau permohonan restitusi tidak dipertimbangkan atau dimasukkan ke dalam amar putusan hakim, tuntutan pidana dari penuntut umum belum optimal untuk mengakomodir restitusi, serta kompleksitas prosedur pengajuan dan persyaratan pembuktian yang ketat seringkali berujung pada penolakan permohonan restitusi.
Di Indonesia, lanjut JAM-Was, hak restitusi bagi korban tindak pidana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang salinan tata cara penyelesaian permohonan dan pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban tindak pidana.
Terkait hak restitusi di dunia internasional, Prof (HC) Dr Rudi Margono juga mengungkap banyak negara yang sudah sangat maju dalam mengimplementasikannya. Di Amerika Serikat dikenal adanya Victims of Crime Act (VOCA) memastikan bahwa restitusi korban menjadi prioritas utama. VOCA Fund, sebuah dana khusus yang dibentuk oleh aset yang disita, digunakan untuk memberikan kompensasi kepada korban.
Dengan mekanisme ini, Amerika secara struktural memisahkan pemidanaan badan dari pemulihan aset, sehingga proses restitusi dapat berjalan cepat dan independen.
Sementara di Inggris menggunakan Proceeds of Crime Act 2002 (POCA) yang dianggap sebagai mekanisme perampasan aset paling komprehensif di dunia. Mekanisme ini sangat mempercepat proses pemulihan aset.
POCA memungkinkan aset yang disita dialokasikan kembali untuk kepentingan publik, termasuk melalui restorasi langsung kepada korban (compensation dan reparation).
Saat diamankan, jaksa gadungan yang mengaku Asisten Khusus Jaksa Agung itu membawa uang tunai senilai Rp 281,3 juta
Baca Selengkapnya
JAM-Datun menegaskan Kejaksaan memiliki tugas dan peran penting memastikan tata kelola yang baik di Danantara
Baca Selengkapnya
JAM INTEL dan DItjen Perikanan Tangkap KKP Tandatangi Pakta Integritas Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) Kampung Nelayan Merah Putih
Baca Selengkapnya
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id