

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Prof Dr Asep N Mulyana menyetujui dua permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada ekspose virtual yang digelar Selasa, 12 Agustus 2025.
Kedua perkara yang diajukan oleh dua Kejaksaan Negeri (Kejari) ini menyangkut perkara perlindungan anak dan penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung. Anang Supriatna, S.H, M.H mengungkapkan permohonan untuk penyelesaian perkara terkait perlindungan anak melalui restoratif justice itu diajukan oleh Kejari Flores Timur.
"Tersangka dalam perkara ini adalah Aloysius Dalo Odjan alias Jeri dan Marianus Liufung Lusanto alias Jonli," ungkap Kapuspenkum dalam keterangan tertulisnya.
Pasal sangkaan kepada dua tersangka adalah melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo Pasal 76C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda paling banyak Rp72 juta.
Perkara ini bermula saat korban bernama Thomas Pito Tereng (15 tahun) sedang berbincang dengan temannya di acara pesta sambut baru pada 14 Juni 2025 sekitar pukul 00.54 WITA di Pantai Lamawalang, Kabupaten Flores Timur. Tiba-tiba Tersangka Jeri menampar teman korban yang coba ditahan korban. Namun upaya itu tak berhasil karena Tersangka Jeri ikut menampar korban dan bersama Tersangka Jonli mengejar korban hingga ke pantai.
Saat berada di pantai, Tersangka Jeri melakukan kekerasan hingga beberapa kali kepada korban. Sedangkan Tersangka Jonli memukul dahi korban hingga korban terjatuh ke air. Tidak berhenti di situ, tersangka juga menampar wajah korban dua kali ketika korban hendak pulang.
Akibat perbuatan para tersangka, korban mengalami luka memar dan lecet di beberapa bagian tubuh sesuai visum RSUD dr. Hendrikus Fernandez.
Dalam proses perdamaian pada 4 Agustus 2025, kedua tersangka mengakui perbuatannya, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulanginya. Korban dan keluarganya menerima permintaan maaf tanpa syarat. Perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan.
Berdasarkan pertimbangan yuridis dan sosiologis, Kejati NTT mengusulkan penghentian penuntutan melalui mekanisme keadilan restoratif yang kemudian disetujui oleh JAM-Pidum.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur Teddy Rorie, S.H., Kasi Pidum sekaligus Jaksa Fasilitator I Nyoman Sukrawan, S.H., M.H. menginisiasi penyelesaian perkara ini melalui mekanisme Restorative Justice.
Satu perkara lain yang disetujui penyelesaiannya melalui restoratif oleh JAM-Pidum adalah terhadap Tersangka Angga bin Bastari dari Kejari Muara Enim, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
Menurut Kapuspenkum, permohonan restorative justice disetujui karena alasan telah dilaksanakan proses perdamaian secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, serta ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun
Permohonan restorative justice juga disetujui karena alasan Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, kedua pihak yang berperkara setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
Pertimbangan lainnya adalah faktor sosiologis serta adanya respons positif dari masyarakat
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id