

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Prof Dr Asep N Mulyana menyetujui dua permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) dalam ekspose virtual, Kamis, 31 Juli 2025.
Dua perkara tersebut diajukan ke JAM-Pidum Kejaksaan Agung (Kejagung) oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Aceh dan Kejari Sintang, Kalimantan Barat melalui Kejaksaan Tinggi (Kejati) di wilayah hukum masing-masing.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, S.H, M.H menjelaskan salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Mulyadi Abd Gani bin Abdul Gani dari Kejari Bireuen.
Tersangka Mulyadi disangka melanggar Kesatu Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sementara satu perkara lain yang disetujui penyelesaiannya melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Midun Elpa Saputra bin Aspar dari Kejaksaan Negeri Sintang, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Menurut Kapuspenkum, kasus ini bermula saat Tersangka Mulyadi bekerja dengan seorang anak korban bernama Irwandi bin M Azis yang merupakan rekan kerja di sebuah kilang padi. Pada Jumat, 14 Maret 2025 sekitar pukul 5 sore, Tersangka dan Anak korban terlibat perdebatan yang dipicu persoalan pemuatan berat.
Ucapan anak korban membuat Tersangka Mulyadi tersinggung dan mendatangi korban serta memukul paha kanan menggunakan gagang sapu sebanyak satu kali.
Anak korban kembali mendapat perlakuan kekerasan berupa pemukulan di bagian kepala serta beberapa bagian tubuh oleh Tersangka Mulyadi saat jatuh terpeleset di pondok.
Berdasarkan hasil pemeriksaan medis sebagaimana tercantum dalam Surat Visum et Repertum RSUD dr. Fauziah Kabupaten Bireuen Nomor: 46/2025 tanggal 17 Maret 2025, yang ditandatangani oleh dr. Sarah Annisa Hasanah selaku dokter pemeriksa ditemukan sejumlah luka fisik di tubuh anak korban.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi, S.H., M.H, Kepala Seksi Pidum Yanuar Firman Junaidi, S.E., S.H., M.H serta Jaksa Fasilitator Lainatussara, S.H., M.H. dan Leni Fuji Lesti, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice, dengan mendamaikan pihak korban dan Tersangka pada 21 Juli 2025.
Usai tercapainya perdamaian yang diikuti permintaan Korban agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan, Kajari Bireun mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Yudi Triadi, S.H., M.H, yang dilanjutkan kepada JAM-Pidum dan disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis 31 Juli 2025.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
Menurut Kapuspenkum, permohonan restorative justice disetujui karena alasan telah dilaksanakan proses perdamaian secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, serta ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun
Permohonan restorative justice juga disetujui karena alasan Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, kedua pihak yang berperkara setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis, serta masyarakat merespons positif
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id