

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Prof Dr Asep N Mulyana menyetujui 10 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin, 22 September 2025.
Kesepuluh permohonan penyelesaian perkara melalui restorative justice diajukan 8 Kejaksaan Negeri (Kejari) dengan tiga perkara berasal dari Kejari Dumai.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, S.H., M.H., dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan salah satu perkara yang disetujui penyelesaiannya melalui mekanisme keadilan restoratif adalah terhadap Tersangka Riski dari Kejari Morowali.
Puspenkum Kejagung
Dijelaskan Kapuspenkum, perkara ini bermula saat Tersangka Riski sedang berada di Taman Kota Desa Bente, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali pada 8 Juli 2025 sekitar pukul 22.30 WITA. Di tempat wahana permainan itu, tersangka bermaksud untuk menikmati suasana taman tersebut.
Saat sedang berjalan, Tersangka melihat sebuah tas berwarna hitam milik Saksi Erni Erawati, yang tergantung di sebuah lapak penjual minuman. Pada saat itu, timbul niat Tersangka untuk mengambil tas tersebut, hingga diambil tas tersebut berikut isinya berupa uang senilai Rp3,5 juta.
Ketika hendak mengambil dompet yang ada di dalam tas, Saksi Andi Sandi Gautama yang hendak buang air kecil memergoki aksi Tersangka dan memberitahukannya kepada Saksi Erni Erawati. Spontan hal itu membuat Saksi Erni berteriak Maling sehingga warga sekitar mengejar Tersangka.
Melihat banyak orang mengejarnya, Tersangka yang mencoba melarikan diri dan dompet berisi uang tunai yang diambilnya terjatuh. Tersangka berhasil ditangkap pada pukul 23.10 WITA di dekat Kantor Dinas Perikanan lalu diamankan oleh pihak Kepolisian setempat.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejari (Kajari) Morowali Naungan Harahap, S.H., M.H., Kepala Seksi (Kasi) Pidum Jayadi, S.H. dan Jaksa Fasilitator Mugyadi, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Proses perdamaian telah dilakukan antara Tersangka dan korban pada 10 September 2025. Usai tercapai kesepakatan perdamaian, Kajari Morowali mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tengah N. Rahmat R, S.H., M.H., yang selanjutnya mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum.
Selain perkara tersebut, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif terhadap sembilan perkara lainnya, yaitu:
1. Tersangka Ferdin alias Ferdi dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Tersangka Wahyudi Azhari alias Yudi bin Wagito dari Kejaksaan Negeri Dumai, yang disangka melanggar Pertama Pasal 480 ke-1 KUHP atau Kedua Pasal 480 ke-2 KUHP tentang Penadahan.
3. Tersangka Tumadi alias Mamek bin Alm. Patmo Suwitodari Kejaksaan Negeri Dumai, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
4. Tersangka Abi Abdillah alias Abi bin Poninam dari Kejaksaan Negeri Dumai, yang disangka melanggar Pertama Pasal 480 ke-1 KUHP atau Kedua Pasal 480 ke-2 KUHP tentang Penadahan.
5. Tersangka Rolisadi Putra alias Rolis bin Yohanes dari Kejaksaan Negeri Bengkulu Utara, yang disangka melanggar Pertama Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Kedua Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Candra Supriyanto alias Cangga bin Atok dari Kejaksaan Negeri Bangka Tengah, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka Meigy Aditya alias Meigy bin Suhantoro dari Kejaksaan Negeri Pangkal Pinang, yang disangka melanggar Pertama Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Kedua Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
8. Tersangka Ariyansyah alias Cibom bin Syamsudin dari Kejaksaan Negeri Belitung Timur, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
9. Tersangka Selvi binti Hamzah dari Kejaksaan Negeri Bangka, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
"Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” ujar JAM-Pidum.
Menurut Kapuspenkum, permohonan restorative justice disetujui karena alasan telah dilaksanakan proses perdamaian secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, serta ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun
Permohonan restorative justice juga disetujui karena alasan Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, kedua pihak yang berperkara setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
Pertimbangan lainnya adalah faktor sosiologis serta adanya respons positif dari masyarakat
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id