Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyetujui pengajuan penghentian penuntutan perkara berdasarkan mekanisme restorative justice (keadilan restoratif) atas perkara yang menyeret seorang sopir bus Damri Trans Sulsel yang diajukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Takalar.
Persetujaun tersebut diberikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel Dr Didik Farkhan Alisyahdi yang didampingi Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulsel, Jabal Nur dan Koordinator Koko Erwinto Danarko bersama jajaran Pidana Umum (Pidum) dalam ekspose yang berlangsung Rabu, 29 Oktober 2025.
Kejari Takalar mengajukan usulan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif untuk perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas atas nama Tersangka AI (36 tahun), seorang karyawan swasta yang sehari-hari bekerja sebagai supir Bus Damri Trans Sulsel.
Peristiwa kecelakaan terjadi pada Kamis, 11 September 2025, sekitar pukul 05.00 WITA saat Tersangka AI sedang mengemudikan bus dengan No. Polisi B 7406 FAB dari Pelabuhan Boddia Takalar menuju Kota Makassar. Dengan kondisi subuh hari yang gelap dan penerangan jalan yang sangat minim, Tersangka melihat dua pejalan kaki di bahu jalan ketika melajukan kendaraan di Jalan Poros Galesong – Makassar.
Meskipun mengetahui bus yang dikendarai sulit melakukan pengereman mendadak, Tersangka tidak fokus dan tetap menambah kecepatan jadi 60 km/jam saat busnya berjarak kurang lebih 60 meter dari korban.
Dengan kondisi bus dalam kecepatan menengah, Korban DA yang sudah berusia 60 tahun menyeberang ke arah sisi bahu jalan sebelah kiri tanpa memperhatikan kondisi lalu lintas dan tidak melewati zebra cross. Tersangka AI yang melihat korban berusaha menyeberang, refleks membanting setir ke kanan. Malang, Korban yang sudah kaget ikut berbalik arah kembali ke sisi kanan. Akibatnya bus menabrak dan melindas Korban DA yang meninggal dunia di tempat kejadian.
Melihat perkara status tersebut, Kejari Talakar menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice. Inisiatif ini muncul karena korban baru pertama kali melakukan tindak pidana, perbuatan yang dilakukan termasuk kalalaian, adanya andil dari korban yang menyeberang jalan tidak melalui fasilitas penyeberangan, serta adanya respons positif dari masyarakat.
Pertimbangan utama dari mengajuan penghentian perkara adalah adanya perdamaian dengan korban usai tersangka bersepakat untuk memberikan santuan senilai Rp10 juta. Kedua pihak yang berperkara juga sepakat untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan tanpa paksaan ataupun tekanan dan takkan saling menuntut di kemudian hari.
"Setelah melihat melihat testimoni keluarga korban, tersangka, tokoh masyarakat dan penyidik. Telah memenuhi ketentuan Perja 15, keluarga korban sudah memaafkan tersangka. Atas nama pimpinan, kami menyetujui permohonan RJ yang diajukan," kata Kajati Sulsel.
"Saya berharap penyelesaian perkara zero transaksional untuk menjaga kepercayaan pimpinan dan publik,” pesan Didik Farkhan.
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id