Better experience in portrait mode.
JAM-Pidum Setujui Penyelesaian 9 Perkara lewat Mekanisme Keadilan Restoratif, Salah Satunya Kasus Pencurian HP

JAM-Pidum Setujui Penyelesaian 9 Perkara lewat Mekanisme Keadilan Restoratif, Salah Satunya Kasus Pencurian HP

Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana kembali memberikan persetujuan permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif). Pada ekspose virtual yang berlangsung Rabu, 25 September 2024, JAM-Pidum menyetujui permohonan 10 perkara dari sejumlah Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia.


Ke-10 perkara tersebut beradal dari Kejari yang berada di wilayah hukum dari empat provinsi yaitu Sumatera Utara sebanyak 2 perkara, Daerah Khusus Jakarta (4 perkara), Sulawesi Utara (3 perkara), dan Nanggroe Aceh Darussalam sebanyak 1 perkara.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” ujar JAM-Pidum.

JAM-Pidum Setujui Penyelesaian 10 Perkara lewat Mekanisme Keadilan Restoratif, Salah Satunya Kasus Pencurian Ponsel

Salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif adalah kasus dengan tersangka Ahmad Alfaqih. Tersangka yang perkaranya ditangani Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat itu disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

Kasus ini berawal ketika Ahmad Alfaqih yang gagal memperoleh pinjaman untuk biaya perjalanan istrinya pulang kampung mencuri telepon genggam pada Selasa, 16 Juli 2024. Telepon tersebut diambil secara paksa dari korban bernama Sutarsih, warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat sekitar pukul 09.10 WIB.

Mengambil handphone korban, yang saat itu berada di depan gapura RT, sambil mengendarai sepeda motor, tersangka tak bisa mengendalikan kendaraannya hingga terjatuh. Tersangka akhirnya menghampiri korban untuk mengembalikan handphone dan meminta maaf.

Meski sudah mengembalikan handphone, tersangka Ahmad Alfaqih diamankan warga dan dibawa ke kantor kepolisian terdekat. Perbuatan tersangka menyebabkan korban berpotensi mengalami kerugian senilai Rp2,6 juta.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Dr. Safrianto Zuriat Putra, S.H., M,H. bersama Kasi Pidum Fatah Chotib Uddin, S.H., M.Kn, serta Jaksa Fasilitator Yanti Agustini, S.H. dan Juliyanti Safitri Siregar, S.H., M.H menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, permohonan maaf tersangka yang mengakui dan menyesali perbuatannya diterima korban yang meminta proses hukum dihentikan. Terlebih Korban belum mengalami kerugian karena Tersangka mengembalikan ponsel korban.

Setelah mempelajari berkas perkara yang diusulkan Kejati Jakarta Pusat, Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta Danang Suryo Wibowo, S.H., LL.M. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum).

JAM-Pidum Setujui Penyelesaian 10 Perkara lewat Mekanisme Keadilan Restoratif, Salah Satunya Kasus Pencurian Ponsel

Selain kasus pencurian tersebut, berikut adalah 9 perkara lain mendapat persetujuan JAM-Pidum untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.

1. Tersangka Abdurrahman bin Sarifudin dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

2. Tersangka Muhammad Rivaldi dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

3. Tersangka Muhammad Syaban Ramadhani Simamora bin Idris Simamora dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

4. Tersangka Marselino Karamoy dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

5. Tersangka Marson Londorang alias Baranda dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Talaud, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.

6. Tersangka Stevina Langelo dari Kejaksaan Negeri Minahasa, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


7. Tersangka Sendirian Ndururu dari Kejaksaan Negeri Nias Selatan, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

8. Tersangka Susanti Siahaan dari Kejaksaan Negeri Toba Samosir, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

9. Tersangka Mahlil Maulana bin M. Jafar dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

● Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

● Tersangka belum pernah dihukum;

● Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

● Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

● Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

● Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

● Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

● Pertimbangan sosiologis;

● Masyarakat merespon positif.