

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof Dr Asep N Mulyana menyetujui 10 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada ekspose virtual yang berlangsung Senin, 30 Juni 2025.
Permohonan persetujuan restorative justice ini diajukan oleh 8 Kejaksaan Negeri (Kejari) dengan masing-masing dua perkara berasal dari Kejari Polewali Mandar dan Bengkulu Utara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Dr. Harli Siregar, S.H, M.Hum mengungkapkan salah satu perkara yang disetujui penyelesaiannya melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Yohanis Kalfein Masawunu alias Anis dari Kejari Maluku Barat Daya.
Tersangka Anis disangka telah melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Perkara yang bermula pada Jumat, 14 Februari 2025 sekitar pukul 23.00 WIT ini bermula saat korban bernama Rifaldo Ubleeuw yang merupakan anggota Polri tengah berusaha melerai pertengkaran adiknya dengan Viktor Benjamin Untajana alias Femi. Tempat kejadian perkara berlangsung di Desa Letwurug, Kecamatan Babat Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Upaya Rifaldo ternyata mendapat penolakan dari Femi yang memukul korban dan dibalasnya dengan menampas satu kali.
Kejadian tersebut diceritakan kepada Tersangka Anis dan beberapa orang lainnya yang kala itu tengah dalam pengaruh minuman keras. Tersulut emosi, Femi bersama tersangka Anis dan beberapa orang mendatangi rumah korban dan melemparinya dengan batu hingga membuat Rifaldo dan dua saksi lainnya kabur melalui pintu belakang.
Namun usaha mereka diketahui Femi dan tersangka Anis melayangkan pukulan di bagian wajah Korban Rifaldo.
Hasil pemeriksaan medis dari dari Puskesmas Letwurung yang tertuang dalam Surat Keterangan Medis Nomor: PKM-LTRG/47/II/2025 diketahui korban mengalami luka memar dan bengkak pad apelipis dan bawah mata kiri.
Mengetahui posisi perkara, Kejari Maluku Barat menginisiasi penyelesaian perkara melalui restorative justice. Usai terjadi perdamaian pada 18 Juni 2025 dengan kesepakatan tersangka mengakui keasalahan dan korban meminta perkaranya tidak dilanjutkan ke persidangan, Kejari mengajukan permohonan restorative justice.
Selain perkara tersebut, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif terhadap 9 (sembilan) perkara lainnya, yaitu:
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain telah dilaksanakan proses perdamaian secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi,
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, serta ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun
Permohonan restorative justice juga disetujui karena alasan Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, kedua pihak yang berperkara setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis, serta masyarakat merespons positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
Salah satu ketentuan penting adalah terkait pemaafan hakim, saksi mahkota, serta kebijakan keadilan restoratif
Baca SelengkapnyaKUHAP perlu pembaruan karena telah berusia lebih dari 40 tahun dan dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum dan paradigma masyarakat saat ini
Baca SelengkapnyaInstall Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id