

Empat guru besar bidang hukum dari universitas berbeda memberikan pandangannya terhadap pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini sedang dibahas pemerintah dan DPR RI.
Pandangan para profesor tersebut disampaikan dalam Konferensi Nasional bertajuk “Politik Hukum dalam Pembaruan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia: Membangun Sistem Hukum yang Berkeadilan dan Berperspektif HAM” yang digelar di Gedung A.G. Pringgodigdo, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, pada Selasa, 15 Juli 2025.
Empat guru besar bidang hukum itu adalah Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) DI Yogyakarta, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum selaku keynote speaker; Guru Besar FH Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D.; Guru Besar FH Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum.; dan Guru Besar FH Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H., M.Hum.
Selain para guru besar, Konferensi Nasional ini juga menghadirkan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki), Dr. Fachrizal Affandi, S.H., S.Psi., M.H dan Peneliti Ilmu Politik Yoes C. Kenawas, Ph.D dengan moderator Iqbal Felisiano, S.H., LL.M.
Prof. Edward Hiariej yang juga menjabat Wakil Menteri Hukum menekankan pentingnya menjamin prinsip fair trial, akuntabilitas, serta transparansi dalam pembaruan KUHAP.
Menurut Prof Edward Hiariej, sebagian besar dari 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) telah disepakati untuk mengedepankan perlindungan HAM, relasi antar aparat penegak hukum, hingga penguatan kehadiran penasihat hukum sejak awal penyidikan.
Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya penguatan keadilan restoratif melalui peran aktif aparat hukum yang tetap tunduk pada mekanisme pengadilan.
Sementara itu, Prof. Harkristuti memaparkan bahwa KUHP baru tetap mengedepankan asas universal hukum pidana, namun dengan pembaruan substansi melalui formulasi delik yang lebih humanis.
Ia mencontohkan reformulasi pada delik penghinaan presiden, perzinahan, dan perkosaan yang kini lebih sensitif terhadap nilai-nilai HAM.
"KUHP juga memperkenalkan pidana alternatif dan pidana mati bersyarat sebagai bentuk keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar UNDIP, Prof. Pujiyono, turut menegaskan bahwa paradigma pemidanaan dalam KUHP Nasional kini beralih dari pendekatan retributif ke model yang lebih restoratif dan humanis.
Prof Pujiyono memperkenalkan berbagai ide pemidanaan baru, termasuk fleksibilitas sanksi, double track system, dan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana. "Pemidanaan kini diarahkan untuk memulihkan, bukan sekadar menghukum," ujarnya.
Sedangkan Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, dari UNAIR memfokuskan pemaparannya pada urgensi reformasi sistem pembuktian demi mewujudkan keadilan substantif. Serta, pentingnya mempertegas peran hakim serta membuka ruang bagi pembuktian yang adil dari semua pihak.
Prof Dr Nur Basuki juga menekankan perlunya standar pembuktian yang lebih jelas, serta memperkuat prinsip keseimbangan antara hak terdakwa dan kewenangan penegak hukum.
Dari kalangan akademisi, Ketua Umum ASPERHUPIKI, Dr. Fachrizal Affandi, menyoroti ketimpangan antara semangat progresif dalam KUHP baru dengan pendekatan formalistik dalam RKUHAP 2025.
Menurut Dr Fachrizal, pembatasan terhadap hak tersangka serta lemahnya kontrol yudisial dalam RKUHAP berpotensi melemahkan nilai-nilai perlindungan HAM.
"Oleh karena itu, integrasi antara KUHP dan RKUHAP dinilai mutlak untuk memastikan transformasi sistem peradilan yang modern dan adil," ujarnya.
Pada konferensi nasional tersebut, Peneliti Politik Yoes C. Kenawas, Ph.D. turut memaparkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap 101 ahli dan praktisi hukum yang mayoritas mendukung revisi KUHAP, khususnya dalam memperkuat akuntabilitas dan perlindungan HAM.
Survei ini, nilai Yoes, menunjukkan pentingnya transparansi proses legislasi, batas waktu penyidikan, pendampingan hukum wajib, dan perlunya digitalisasi informasi perkara untuk menjamin akses publik.
Peserta Konferensi Nasional ini diikuti para dosen dan mahasiswa dari berbagai Universitas dan peserta perwakilan dari Kejati Jatim Windhu Sugiarto, S.H., M.H.,CSSL (Kasipenkum Kejati Jatim) bersama jajaran, yaitu Teguh Basuki Heru, S.H., M.H., Eko Wahyudi, S.H., M.H., Fikki Aminullah Simatupang, S.H., dan Ardian Dwi Pramono, serta peserta perwakilan dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto yaitu Kajari Kabupaten Mojokerto Dr. Endang Tirtana, SH. MH.beserta jajaran.
Install Story Kejaksaan
story.kejaksaan.go.id